Oleh : AGUS FATONI
Manager
Operasional & Human Capital Bank Mu’amalah Cilegon
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”

Seperti biasanya bangsa Indonesia
akan merayakan hari di mana bangsa ini lahir dengan membawa kemerdekaannya,
tepatnya tanggal 17 Agustus. Sekarang negeri ini sudah memasuki usianya yang
ke-71 Tahun (1945-2016). Berbagai macam kegiatan diadakan mulai dari
perlombaan, bakti sosial, atau kerja bakti di kalangan masyarakat hingga
kalangan pejabat, baik di desa-desa maupun kota-kota besar di seluruh nusantara
ini.
Tidak ketinggalan sangsaka merah
putih pun dipasang di rumah-rumah, di jalan-jalan dan berbagai tempat lainnya
dari berbagai ukuran. Begitu juga di kendaraan-kendaraan (bagi yang punya
kendaraan) seolah akan menyambut tamu agung dari alam Kahyangan. Begitu meriah
perayaan HUT RI tersebut, sehingga ada pula yang menonjolkan kesan kemewahan
dan menghambur-hamburkan uang. Jika dikategorikan seorang manusia, maka usia 71
tahun merupakan usia senja, sebab masa produktifnya telah terlewati.
Salah satu nikmat terbesar yang
diberikan Allah SWT, kepada kita adalah nikmat kemerdekaan. Betapa tidak,
dengan diberikannya nikmat kemerdekaan ini kita bisa melaksanakan berbagai
aktivitas.

Tidak bisa kita bayangkan pula betapa
perjuangan Bapak-bapak kita, para pahlawan Republik Indonesia, dan seluruh
rakyat Indonesia yang dahulu berjuang demi membela bangsa ini dan mengusir
penjajah dari bumi pertiwi. Mereka rela berkorban harta atau nyawa sekalipun,
tanpa kenal pamrih. Sementara kita saat ini yang hanya duduk menikmati lezatnya
kue kemerdekaan, lupa akan perjuangan dan jasa-jasa mereka terhadap negara dan
bangsa ini. Lihat saja perilaku para penyelenggara negara baik dari kalangan
lembaga Eksekutif, Legislative maupun Yudikatif belum mencerminkan seorang Negarawan.
Mereka justru merusak Tatanan Negara
yang telah dibangun oleh para pendiri Bangsa ini diatas pondasi yang kokoh dan
kuat. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merebak subur dimana-mana. Aksi-aksi
kriminalitas, aksi Teror, Pornoaksi, Prostitusi, Narkoba, Pornografi, Konflik
antarumat beragama dan antarsuku merupakan kejadian sehari-hari yang bisa
disimak di media massa. Semua itu seolah telah menjadi pemandangan yang biasa
bagi kita. Inti dari krisis multidimensi yang dihadapi bangsa ini sebenarnya
adalah krisis moral, yaitu akibat dari pengabaian nilai-nilai Moral dan Etika.
Krisis moral di negeri ini sudah sangat memprihatinkan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat memandang
telah terjadi penisbian dan pembiaran serta kebebasan nilai moral. Hal itu
menjadi perhatian serius MUI. Apakah ini yang dinamakan makna dan Hakikat dari Kemerdekaan?
Sungguh bangsa Indonesia semakin lama hanya menjadi bangsa yang carut-marut.
Ibarat sebuah perahu yang sedang berlayar mengarungi lautan luas, di perjalanan
menghadapi kebocoran sehingga mengakibatkan oleng dan hampir tenggelam ke dasar
laut. Di usianya yang semakin bertambah tua ini, coba kita renungkan kembali
apakah memang kita sudah benar-benar mensyukuri nikmat kemerdekaan yang di
anugerahkan-Nya? Allah Swt berjanji bahwa siapa yang bersyukur pasti akan
ditambah nikmatnya. Sebaliknya, siapa yang ingkar terhadap nikmat-Nya niscaya
azab Allah SWT sangat pedih. Untuk itu bentuk syukur kita terhadap nikmat Kemerdekaan
ini minimal tidak lupa akan Sejarah. Dan kita isi kemerdekaan ini dengan Karya
nyata membangun Ummat dan Bangsa dengan segenap kekuatan yang ada pada diri
kita, bukan malah menjadi beban bagi bangsa ini. Mari kita ubah pola pikir (Mindset) kita dan seluruh masyarakat
dengan prinsip “apa yang telah kita
berikan untuk bangsa, bukan apa yang telah bangsa berikan untuk kita”.
Hakikat Kemerdekaan
“Merdeka berarti harus membangun, bukan untuk pribadi atau golongan.
Makmur untuk semua, adil untuk semua, hukum pun berlaku untuk semua. Merdeka bukannya
bebas tanpa Hukum. Merdeka berarti bersatu membangun. Allah mencintai Ummat
yang membangun, Allah membenci umat yang merusak”.
Tidak pernah lupa rasanya dalam benak
penulis, semasa kecil yang sering mendengar dan menyanyikan lagu Qasidah ini. Indah
benar syair lagu tersebut, seindah gambaran sebuah kemerdekaan yang diisi
dengan pembangunan di segala bidang.
Mulai dari kehidupan yang saling
tolong-menolong dan mengutamakan kepentingan bersama dari pada kepentingan
pribadi atau golongan, tegaknya Keadilan dan Makmurnya Bangsa, juga supremasi
hukum tanpa pandang bulu. Memang itu hanya sebuah lagu, tapi mengandung arti
yang dalam untuk mengisi dan menikmati kemerdekaan.
Mengutip pernyataan Almarhum KH. Husein Umar (DDII Jakarta),
“Jika bangsa ini ingin keluar dari kemelut yang berkepanjangan seolah tiada
akhir dari penderitaan, kuncinya adalah kembalikan Jabatan sebagai suatu
amanah. Sehingga apapun yang menjadi tugasnya merupakan amanah yang kelak akan
dipertanggungjawabkan dihadapan manusia dan Allah SWT”. Kemerdekaan juga bukan
diartikan mulut kita bebas berbicara sesukanya, tanpa tedeng aling-aling atau
berbuat sesuka hati dengan dalih Demokrasi. Sebab hal itu akan membawa
keburukan, karena jelas akan banyak orang yang terganggu, tersakiti, dan terdzalimi.
Kebebasan berbicara kita dibatasi Etika dan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat. Inilah yang saat sekarang hilang dari hadapan kita. Padahal
Rasulullah SAW bersabda, “falyaqul
khairan Auliyasmuth (berbicara/berbuat yang baik atau diam sama sekali, HR.
Bukhari dan Muslim)”.
Dulu bangsa Indonesia dikenal di
mancanegara sebagai bangsa yang sopan, suka menolong, dan bergotong royong.
Sekarang malah sebaliknya, bangsa ini justru malah dikenal sebagai bangsa yang
bengis dan kejam. Padahal sikap-sikap positif inilah yang seharusnya selalu
mengiringi gerak langkah kehidupan kita sehari-hari, yang hampir pudar di
tengah-tengah kita.
Kadangkala teringat pula akan ucapan
baginda Nabi Muhammad SAW, “Di akhir zaman Allah akan mencabut 4 hal.
Pertama, Allah akan mencabut berkahnya dari muka bumi. Kedua, Allah akan
mencabut rasa iba dan kasihan terhadap orang lain (Rasa kasih sayang). Ketiga,
Allah akan mencabut rasa adil dari para penguasa. Keempat, Allah cabut rasa
malu terutama dari kaum perempuan”.
Jika kita renungkan kembali ucapan
baginda Nabi ini dan kita hubungkan dengan situasi dan kondisi saat ini, ada
banyak kemiripan seperti apa yang pernah diucapkannya. Indonesia yang dikenal
sebagai bangsa yang Kaya Raya, tongkat kayu jadi tumbuhan, tetapi menjadi
negara miskin. Bahkan beras pun harus impor dari negara lain, padahal Indonesia
sebagai negara Agraris. Indonesia juga menjadi pengemis abadi kepada lembaga Keuangan
yang bernama IMF yang konon merupakan lembaga dunia pemberi bantuan dan tunduk
kepada Bangsa-bangsa lain, bahkan dipandang sebelah mata oleh Negara lain.
Kondisi demikian ditambah dengan
tidak adanya jaminan keamanan di Negeri ini, karena masih banyak aksi-aksi
teror yang mengganggu iklim dunia usaha serta rasa Aman bagi Masyarakat. Sehingga
para investor enggan untuk menanamkan modalnya, dan akibatnya pertumbuhan
ekonomi pun tidak mencapai titik kemajuan bahkan sebaliknya yang ada hanya
kemunduran. Bila kita melihat sering terjadinya kekerasan, baku hantam, tawuran
dan sebagainya, ini berarti antar sesama kita sudah tidak ada lagi rasa belas
kasihan.
Kita sering menyaksikan aparat
penegak hukum yang justru tidak adil dan juga merusak Tatanan Hukum &
keadilan. Hukum selama ini hanya berlaku bagi wong cilik. Ibarat sebuah mata
pisau dia hanya tajam kebawah, sedangkan keatas dia tumpul. Memang, lebih mudah
menangkap ikan teri dari pada ikan tongkol. Akibatnya, masyarakat sudah tidak
percaya lagi dengan aparat penegak hukum. Akhirnya terjadilah apa yang
dinamakan “pengadilan jalanan”. Sebab hukum memang sudah mandul. Hanya karena
mencuri ayam tetangga, digebuki sampai sekarat bahkan sampai meninggal.
Sedangkan koruptor yang jelas-jelas telah mencuri uang negara sama sekali tidak
tersentuh hukum alias kebal hukum. Ironisnya, hal ini terjadi di sebuah negara
muslim terbesar didunia. Keempat, Allah mencabut rasa malu terutama kepada para
kaum wanita. Hal ini bisa dilihat bagaimana para Artis Berpakaian, bergoyang
dan goyangannya sudah menjurus kepada pornoaksi. Bahkan aksi mereka lebih parah
dibandingkan penyanyi perut di negeri Mesir. Sudah jelas dalam Al-quran bahwa
wanita adalah tiang negara. Jika baik wanitanya maka baik pula bangsanya.
Tetapi jika buruk akhlak wanitanya maka buruklah bangsanya. Penulis ingin
mengetuk pintu hati para pengelola stasiun televisi di Indonesia untuk lebih
banyak menyiarkan tayangan yang mendidik dan mendewasakan masyarakat. Sebab
tontonan sudah menjadi tuntunan bagi sebagian besar masyarakat baik anak-anak
maupun dewasa, terutama di daerah-daerah pedesaan.
Sekarang kita harus mengevaluasi diri
kembali, jangan sampai Kemerdekaan atau kebebasan itu menjadikan kita bebas
berbuat dosa dan kemaksiatan. Perlu diingat pula bahwa yang namanya kemerdekaan
tidak hanya identik dengan kemerdekaan fisik belaka. Ada banyak orang yang
merdeka fisiknya tapi terpenjara dan terjajah jiwanya dengan kedengkian,
dendam, ambisi, atau nafsu-nafsu buruknya.
Di lain pihak ada pula orang yang secara
fisik terpenjara, tapi jiwanya bebas merdeka. Baginya penjara bisa menjadi
tempat untuk berkhalwat dengan Allah, menjadi tempat untuk bersungguh-sungguh
memperbaiki diri dan menimba ilmu. Kita bisa melihat bagaimana para mujahid di
Palestina menjadikan penjara sebagai tempat pengkaderan para mujahid baru.
Sehingga ketika keluar dari penjara, keimanan mereka semakin tebal dan bisa
menjadi penghafal Al-quran. Tentu yang paling ideal adalah fisik dan jiwa kita
merdeka. Fisik bebas dari terali besi dan jiwa juga hati kita terbebas dari
belenggu hawa nafsu Ankara murka. Aamiin…